Selasa, 08 November 2011

SISTEM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

Apabila dikaji lebih jauh makna dari Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia maka pertama kita harus mendefenisikan apa yang dimaksud dengan Sistem kemudian kita juga harus menjelaskan apa yang dimaksud dengan Pembuktian. Selanjutnya yang ketiga, apa yang dimaksud dengan Hukum Acara Pidana Di Indonesia.
1.        Pengertian System
Menurut The New Webstyer International Dictionary, Sistem Berasal dari Bahasa Yunani yaitu Systema yang berarti sesuatu yang terorganisasi atau Suatu keseluruhan Kompleks. Jadi Sistem mengandung arti terhimpunnya bagian atau komponen yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu keseluruhan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sistem adalah Perangkat Unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk totalitas atau susunan yang teratur dari pandangan, teori dan azas.
Sedangkan Menurut Penulis bahwa Sistem adalah Bagian-bagian yang saling berhubungan didalam satu kesatuan dimana bagian-bagian tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.

2.        Pengetian Pembuktian
Kata Dasar dari Pembuktian adalah Bukti, Bukti dapat diartikan sebagai suatu hal yang cukup memperlihatkan kebenaran suatu hal. Jadi Pembuktian adalah suatu tindakan, perbuatan atau kegiatan untuk memberikan bukti.
Selanjutnya kita akan memberikan penjelasan tentang pembuktian apabila ditinjau dari kaca mata Hukum, Pembuktian adalah suatu cara, proses atau perbuatan untuk memberi bukti bahwa seseorang Bersalah atau tidak bersalah dalam suatu peristiwa hukum didalam Proses Peradilan.
Menurut M.Yahya Harahap, Pembuktian adalah Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada si terdakwa.

3.        Pengertian Hukum Acara Pidana  Di Indonesia
Apabila dilihat dari isinya maka Hukum dibedakan menjadi dua, yakni Hukum Materil dan Hukum Formil. Hukum Materil adalah Hukum yang mengatur isi daripada hubungan-hubungan hukum dalam masyarakat. Hubungan-hubungan hukum dalam bidang perdata diatur oleh hukum perdata sedangkan hubungan-hubungan hukum bidang publik diatur oleh hukum publik seperti hukum pidana, dsb.
Hukum Formil adalah Hukum yang mengatur tentang tentang bagaimana caranya mempertahankan dan menegakkan hukum materil. Hukum formil biasa juga disebut dengan hukum acara.
Selanjutnya kita masuk kedalam hukum pidana. Didalam hukum pidana ada juga disebut dengan Hukum Pidana Materil dan ada juga namanya Hukum Pidana Formil.
Hukum Pidana Materil adalah Keseluruhan Kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana dan kepada siapa dapat dijatuhkan pidana  serta hukuman apa yang dapat dijatuhkan kepada yang melakukan tindak pidana tersebut.
Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana adalah Hukum yang mengatur tentang tata cara beracara dalam lingkup hukum pidana. Atau juga dapat diartikan sebagai seperangkat aturan-aturan tentang bagaimana caranya menegakkan atau mempertahankan hukum pidana materil. Lebih jelasnya lagi bahwa hukum pidana formil memuat aturan-aturan tentang bagaimana caranya menerapkan hukum pidana terhadap perkara-perkara pidana. Dalam hukum pidana formil diatur segala sesuatu tentang proses pemeriksaan perkara pidana pada semua tingkatan pemeriksaan di Kepolisian, Di Kejaksaan dan Di Pengadilan.
Berdasarkan tema diatas yakni Hukum Acara Pidana Di Indonesia  maka tentunya kita merujuk kepada Undan-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dimana undang-undang tersebut merupakan hukum positif di Indonesia yang berlaku sejak disahkan pada tahun 1981 sampai dengan adanya perubahan dan/atau penggatian dari pihak yang berwenang dalam hal ini persetujuan eksekutif dan legislatif.  

Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia, sebelum memaparkan penjelasan sistem pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia maka alangkah baiknya kita melihat bagaimana sistem pembuktian pada umumnya.
Bahwa tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari, menemukan dan menggali kebenaran materil (materielle warheid) atau kebenaran yang sesungguh-sungguhnya atau kebenaran hakiki. Dengan demikian dalam hukum acara pidana tidaklah dikenal  adanya kebenaran formal (formeele warheid) yang didasarkan semata-mata ditujukan pada formalitas-formalitas hukum, akan tetapi ternyata usaha mencari kebenaran materil tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan oleh kebanyakan orang. Mengapa sampai dikatakan demikian, prakteknya memang cukup rumit untuk menemukan kebenaran materil karena hal ini sangat bergantung pada berbagai aspek dan dimensi. Seperti dimensi waktu, dimana suatu peristiwa pada masa lampau atau beberapa bulan yang lalu tidak mungkin dapat diingat seratus persen pada saat sekarang. Makin lama waktu lampau itu maka makin sulit buat para hakim untuk menyatakan kebenaran atas peristiwa peristiwa tersebut oleh karena manusia tidak mampu untuk mengembalikan waktu lampau tersebut.
Dengan pembelajaran tersebut diatas, disinilah hukum acara pidana berperan. Dimana hukum acara pidana  menunjukkan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran sejati. Agar supaya hakim  bisa mendapatkan keyakinan maka hakim membutuhkan alat-alat guna menggambarkan lagi peristiwa-peristiwa yang sudah lampau itu. Dengan pandangan demikian dapatlah disebutkan secara jelas bahwasanya jika hakim telah menetapkan perihal adanya suatu kebenaran maka aspek ini merupakan pembuktian tentang suatu hal. Dan lebih lanjut lagi bahwa pembuktian melalui hukum pembuktian  meliputi beberapa dimensi, seperti :
1.      Penyebutan alat-alat bukti yang dapat dipakai oleh hakim untuk mendapatkan gambaran dari peristiwa yang sudah lampau.
2.      Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan.
3.      Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.
Selanjutnya dalam rangka menerapkan pembuktian, hakim lalu bertolak pada sistem pembuktian dengan tujuan mengetahui bagaimana cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diadili. Maka berdasarkan sistem pembuktian pada umumnya dikenal ada tiga teori sistem pembuktian, Yakni :
1.      Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positif Wettelijke Bewijs Theori)
2.      Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim.
3.      Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theori).

Untuk menjawab pertanyaan bagaimana sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia maka kita harus memberikan penjelasan satu persatu bagaimana sistem pembuktian pada umumnya.
1.        Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang secara positif (Positif Wettelijke Bewijs Theori)
Berdasarkan teori ini, Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif tergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut limitatif dalam undang-undang. Konkretnya, Undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti tersebut  dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Dalam aspek ini hakim terikat pada pepatah kalau alat-alat bukti tersebut telah dipakai sesuai ketentuan undang-undang, hakim mesti menentukan terdakwa bersalah walaupun hakim berkeyakinan bahwa sebenarnya terdakwa  tidak bersalah. begitupun sebaliknya jika tidak dapat dipenuhi cara mempergunakan alat-alat bukti sebagaimana ditetapkan undang-undang, hakim harus menyatakan terdakwa tidak bersalah walaupun menurut keyakinannya sebenarnya terdakwa bersalah.
2.        SistemPembuktian Menurut Keyakinan Hakim
Pada sistem  pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, maka hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (Conviction Intime). Dalam perkembangannya lebih lanjut, sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim mempunyai dua bentuk yaitu Conviction Intime dan Conviction Raisonce. Melalui sistem pembuktian conviction intime maka kesalahan terdakwa bergantung pada keyakinan belaka sehingga hakim tidak terikat oleh suatu peraturan. Dengan demikian putusan hakim disini tampak timbul nuansa subjektif. .
Penerapan sistem pembuktian Conviction intime mempunyai bias subyektif, yaitu “sistem pembuktian conviction intime menentukan salah tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, darimana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah. Dalam sistem ini keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan lansung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction intime ini sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat-alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana Yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi dalam sistem pembuktian conviction intime sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim, sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasarkan alat-alat bukti yang sah terdakwa bisa dinyatakan bersalah semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa, seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini”.
Sedangkan pada sistem pembuktian conviction raisonce pada dasarnya identik dengan sistem conviction intime, lebih lanjut pada sistem pembuktian conviction raisonce keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan kesalahan terdakwa akan tetapi penerapan keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan yang jelas dan rasional dalam mengambil keputusan,
3.             Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara negatif  (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie).
Pada prinsipnya sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie) menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Dari Aspek historis ternyata sistem pembuktian menurut undag-undang secara negatif hakikatnya merupakan peramuan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara pofitif (Positif Wettelijke Bewijz Theorie) dan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Conviction Intime/Conviction Raisonce). Dengan peramuan ini maka substansi sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatif Wettelijke Bewijz Theorie) tentulah melekat adanya anasir-anasir sebagai berikut yaitu :
·                Prosedural  dan tata cara pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti sebagaimana limitatif ditentukan undang-undang dan
·                Terhadap alat-alat bukti tersebut, hakim yakin baik secara materil maupun secara prosedural.
Selanjutnya perpaduan antara sistem pembuktian negatif dan keyakinan Hakim melekat pula adanya unsur-unsur obyektif dan subyektif dalam menentukan terdakwa bersalah atau tidak.
Setelah mendapatkan gambaran tentang bagaimana sistem pembuktian pada umumnya maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah Sistem Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatif Wettelijke Bewijs Theori) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 81 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Yang berbunyi sebagai berikut :
“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”


Sabtu, 21 Maret 2009

DEFENISI HUKUM


Hukum dalam bahasa Belanda disebut “Recht”, dalam Bahasa Perancis disebut “Droit”, dalam bahasa inggris disebut “Law”, dan dalam bahasa Arab disebut “Syari’ah”. Para Sarjana dan para Ahli membuat Rumusan atau defenisi yang berbeda-beda tentang apa yang dimaksud dengan Hukum. Hal ini disebabkan karena Hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkret. Olehnya itu pertanyaan tentang apakah “HUKUM”, Senantiasa merupakan pertanyaan yang jawabannya tidak mungkin satu, dengan kata lain bahwa persepsi orang tentang itu beraneka ragam tergantung dari sudut pandang mana mereka memandang. Contoh Kalangan Hakim akan memandang Hukum itu dari sudut pandangnya profesi mereka sebagai Hakim. Kalangan ilmuwan Hukum akan memandang hukum itu dari sudut pandang profesi keilmuan mereka.

Penyebab lain sehingga hukum sulit untuk didefenisikan sehingga dapat diterima oleh semua pihak karena hukum mempunyai cakupan dan segi yang sangat luas karena hukum mengatur semua bidang kehidupan masyarakat, tidak hanya masyarakat suatu bangsa tetapi juga masyarakat dunia, yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan yang terus menerus serta hukum mengatur mulai dari sebelum manusia lahir sampai dengan sesudah manusia meninggal. Oleh Karena hukum mempunyai banyak segi dan luas sekali cakupannya, sementara para Ahli menyatakan tidak mungkin membuat suatu defenisi tentang apa sebenarnya Hukum itu sehingga dapat diterima oleh semua pihak maka ada baiknya kita melihat pendapat beberapa Pakar Hukum seperti :

  1. VAN APELDOORN Dalam bukunya yang berjudul INLEIDING TOT DE STUDIE VAN HET NEDERLANDSE RECHT. Menyatakan bahwa “Hukum itu banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak mungkin menyatakan dalam satu rumusan yang memuaskan”.
  2. LEMAIRE Dalam bukunya HET RECHT IN INDONESIA yang menyatakan “DE VEELZIJDIGHEID EN VEELOMVATTENDHEID VAN HET RECHT BRENGEN NIET ELLEN MET ZICH, DAT HET ONMOGELIJK IS IN EEN ENKELE DEFENITIE AAN TEGEVEN WAT RECHT IS”. (Hukum yang banyak seginya dan meliputi segala macam hal itu menyebabkan tidak mungkin orang membuat suatu defenisi apa hukum itu sebenarnya).
  3. I KISCH dalam karangannya RECHTSWETENSCHAP menyatakan “ DOORDAT HET RECHT ONWAARNEEMBER IS ONSTAAT EEN MOELIJKHEID BIJ HET VINDEN VAN EEN ALGEMEEN BE VREDIGENDE DEFINITIE”. (Oleh karena hukum itu tidak dapat ditangkap oleh panca indera maka sukarlah untuk membuat defenisi tentang hukum yang memuaskan umum).

Dengan mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan sehingga hukum sulit untuk dirumuskan kedalam suatu defenisi yang dapat memuaskan semua pihak, maka menurut saya (penulis) tidaklah berarti bahwa kita tidak perlu membuat suatu defenisi tentang hukum karena suatu defenisi hukum sangat dibutuhkan sebagai suatu pegangan dengan tetap menyadari keterbatasan defenisi tersebut. Sedangkan apa yang dimaksud dengan hukum maka marilah kita melihat berbagai defenisi hukum yang diberikan oleh berbagai pakar diantaranya :

Menurut UTRECHT Dlam bukunya PENGANTAR DALAM HUKUM INDONESIA mengemukakan bahwa HUKUM adalah Himpunan petunjuk-petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.

Menurut WIRJONO PRODJODIKORO Dalam tulisannya yang berjudul RASA KEADILAN SEBAGAI DASAR SEGALA HUKUM menyatakan bahwa HUKUM adalah rangkaian peraturan peraturan mengenai tingkah laku orang orang sebagai anggota suatu masyarakat.

Menurut SOEROJO WIGNJODIPOERO dalam karangannya yang berjudul PENGANTAR ILMU HUKUM menyatakan bahwa HUKUM adalah Himpunan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan bermasyarakat.

Rabu, 18 Maret 2009

MENGUBAH PANDANGAN CALON ANGGOTA LEGISLATIF TERHADAP LEMBAGA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT



Abdul Hadi Jamal dari Komisi V dan sekaligus sebagai Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat merupakan seorang yang dijadikan tersangka karena diduga melakukan tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada hari senin tanggal 2 maret 2009 sekitar pukul 22.30 wib. ini merupakan bukti bahwa didalam lembaga Dewan Perwakilan Rakyat masih saja ada oknum Anggota Legislatif yang tidak memiliki prilaku yang baik dan hal ini dikarenakan oleh kurangnya pemahaman tentang tugas yang diemban oleh para wakil Rakyat sebagai pejuang Rakyat untuk meningkatkan Kesejahteraan taraf Hidup Masyarakat Indonesia pada umumnya.

Menurut TAMRIN AMAL TOMAGOLA seorang sosiolog dari Universitas Indonesia, senin 9 maret 2009 dijakarta. (Harian Kompas, Selasa 10 Maret 2009). Bahwa Status Abdul Hadi Jamal sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak hanya menjadi sumber nafkah bagi dirinya sendiri tetapi juga pihak lain yang masuk jaringan kekerabatan atau kepentingannya. karena itu yang dialami Abdul Hadi Jamal juga akan merusak nafkah jaringannya.

Perilaku Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak kian membaik membuat harapan akan terwujudnya sebuah kehidupan berbangsa, Bernegara dan bertanah Air yang bersih dari Korupsi menjadi semakin Surut. dan ini berarti apa yang dijanjikan oleh para Calon Legistif pada saat akan mengikuti PEMILU hanyalah merupakan Impian sehingga pilihan Rakyat dalam pemilu terasa sia-sia. Berdasarkan fakta-fakta yang ada didalam kehidupan berpolitik di Negara Republik Indonesia yang tercinta mungkin ada baiknya Apabila kita bersama-sama merubah pandangan bahwa seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah Seorang Pejuang Rakyat yang akan meningkatkan taraf kesejahteraan Rakyat dan harus memerangi semua perbuatan perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Tindak Pidana Korupsi dan bahwa "LEMBAGA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT BUKAN SEBAGAI TEMPAT UNTUK MENCARI NAFKAH MENUJU KEHIDUPAN YANG SANGAT MEWAH".

Senin, 09 Maret 2009

PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI SEBUAH HARAPAN

PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI SEBUAH HARAPAN
Masyarakat Indonesia semakin jenuh melihat bagaimana korupsi Di Indonesia dilakukan oleh oknum Penyelenggara Negara yang notabene wakil-wakil Rakyat yang mendapatkan amanah dari Rakyat mayoritas melalui sebuah pemilihan umum secara langsung baik pada tingkat daerah maupun tingkat pusat.
Harapan masyarakat Indonesia untuk dapat hidup lebih baik dan sejahtera yang diperjuangkan oleh wakil rakyat yang duduk di Parlemen mungkin akan semakin jauh untuk dicapai apabila belum ada suatu langkah kongkret untuk meminimalisasi perbuatan Tindak Pidana Korupsi baik secara Internal maupun secara Eksternal. Langkah kongkret yang dimaksud secara internal yaitu Dengan membentuk sebuah komisi pengawasan terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada tingkat Daerah Maupun Tingkat Pusat dengan cara memonitor bahkan menyadap Nomor telekomunikasi yang digunakan sehingga setiap gerak-gerik para Anggota DPR dapat terpantau. Sedangkan langkah konkret secara Eksternal yaitu dengan Upaya untuk membuat sebuah Regulasi yang mengatur tentang PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI karena hingga tulisan ini diposting RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI belum juga disahkan sehingga akan membuat dampak yang kurang positif terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan oleh KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI.
Mengingat Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memberi tenggang waktu paling lambat 19 Desember 2009 untuk membentuk sebuah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang mempunyai landasan hukum berupa UNDANG-UNDANG maka DPR diharapkan dengan segera mengesahkan Rancangan Undang Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang sudah memasuki tahap pembicaraan tingkat pertama Rapat Kerja DPR dengan PEMERINTAH (Harian Kompas sabtu, 7 Maret 2009). dan juga rapat dengar pendapat umum untuk menerima masukan masyarakat.

Minggu, 01 Maret 2009

Penegakan Hukum Di Indonesia

Penegakan Hukum Dapat diartikan sebagai suatu proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sebagaimana kita ketahui, Negara kesatuan Republik Indonesia Merupakan sebuah negara Hukum dan ini dipertegas didalam UUD 1945. Berdasarkan pernyatan tersebut maka sebuah negara hukum harus mempunyai beberapa unsur yakni :
1. Supremasi Hukum (Supremacy of law) artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi didalam negara adalah Hukum (Kedaulatan Hukum)
2. Persamaan dihadapan Hukum bagi Setiap orang (Equality before of law)
3. Konstitusi itu tidak merupakan sumber dari Hak-Hak Azasi manusia namun jika hak-hak azasi manusia itu diletakkan dalam konstitusi , itu hanya sebagai penegasan bahwa HAM itu harus dilindungi.
Dengan melihat kehidupan masyarakat di indonesia, Khususnya ditinjau dari sudut penegakan hukum maka sudah dapat dilihat dan dirasakan bagaimana realitas penegakan hukum. Contohnya Kasus korupsi yang dilakukan oleh Oknum Penyelenggara Negara ( Baik pejabat negara yang menjalankan fungsi Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif maupun pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara). Ketika Oknum tersebut melakukan Tindak Pidana Korupsi dan Proses hukumnya dilakukan oleh aparat penegak hukum maka kita dapat melihat bagaimana para Koruptor mendapatkan Fasilitas didalam Ruang Tahanannya seperti Televisi Dsb. Sedangkan apabila masyarakat kecil tertangkap tangan melakukan pencurian seekor ayam maka dapat dilihat bagaimana perlakuan aparat penegak hukum dalam melakukan proses hukum terhadap tersangka, yang kadang kadang Oknum aparat penegak hukum melakukan perbuatan yang sewenang wenang(Penyiksaan).
Dari contoh diatas maka kita dapat melihat bagaimana penegakan hukum di Indonesia dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri.